Thursday, May 14, 2020

Teori Etika ADM Negara Menurut Para Ahli

  
  Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk.

    Karena masalah etika negara merupakan standar penilaian etika administrasi negara mengenai tindakan administrasi negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal administrasi) dan faktor yang menyebabkan timbulnya mal administrasi dan cara mengatasinya.
Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi dan manajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat-birokrat dapat terlihat dan ter-akuntable dengan jelas sehingga akan memudahakan law enforcement yang baik pada reinventing government dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance dan berasaskan nilai-nilai etika administrasi.

    Pada kepemerintahan yang bersih (clean good governance) terkait dengan Law enforcement dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang yang diberikan kepadanya, mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal administration) yang akan mengabaikan Law Enforcement pada penataan ulang pemerintahan di Indonesia. Sehingga pada tujuan Law Enforcement terdapat :

1. Birokrat–birokrat pemerintah dari pemerintahan, yang ditentukan oleh kualitas sumber daya aparaturnya.
2. Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan sistem pemerintahan yang harus diberlakukan.
3. Kelembagaan yang dipergunakan oleh birokrat-birokrat pemerintahan untuk mengaktualisasikan kinerjanya.
4. Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berahlak, berwawasan (visionary), demokratis dan responsif terhadap revitalisasi penataan ulang pemerintahan Indonesia (Reinventing government)

Pengertian Etika 
    Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi, acuan, penuntun apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi sebagai standar untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Oleh karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk.
Pemikiran tentang etika berlangsung pada tiga aras: (1) filosofik, (2) sejarah, dan (3) kategorial. Pada aras filosofik, etika dibahas sebagai bagian integral Filsafat, disamping metafisika, Epistemologi, Estetika, dan sebangsanya. Pada aras sejarah, etika dipelajari sebagai etika masyarakat tertentu pada zaman tertentu, misalnya Greek and Graeco-Roman Ethics, Mediaeval Ethics, sedangkan etika pada aras kategorial dibahas sebagai etika profesi, etika jabatan, dan etika kerja. Sebagai bagian etika, Etika pemerintahan terletak pada aras kategorial, sedangkan sebagai bagian Ilmu Pemerintahan, pada aras philosophical.
Prinsip Nilai Etika Administrasi Negara.
    Etika menurut Bertens (1977) “seperangkat nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan dari seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.Sedangkan Darwin (1999) mengartikan Etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan dengan individu lain masyarakat. Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai abik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam menjalan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness.

    Akuntabilitas administrasi negara dalam pengertian yang luas melibatkan lembaga-lembaga publik (Agencies) dan birokrat untuk mengendalikan bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam dan dari luar organisasinya. Strategi untuk mengendalikan harapan-harapan dari akuntabilitas administrasi publik tadi akan melibatkan dua faktor kritis, yaitu bagaimana kemampuan mendefinisikan dan mengendalikan harapan-harapan yang diselenggarakan oleh manajemen pemerintahan. Kedua derajat kontrol keseluruhan terhadap harapan-harapan yang telah didefiniskan para birokrat tadi.
Etika dalam Administrasi
    Etika adalah dunianya filsafat, nilai, dan moral. Administrasi adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan (get the job done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah bagaimana mengaitkan keduanya, bagaimana gagasan-gagasan administrasi, seperti ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, produktivitas, dapat menjelaskan etika dalam prakteknya, dan bagaimana gagasan-gagasan dasar etika mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk itu dapat menjelaskan hakikat administrasi. Etika administrasi telah menjadi bidang studi yang berkembang pesat dalam ilmu administrasi. Hal ini mencerminkan upaya untuk memantapkan identitas ilmu administrasi, yang sebagai disiplin ilmu yang bersifat eklektik dan terkait erat dengan dunia praktek, tidak dapat tidak terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Meskipun dikatakan demikian, sejak awalnya masalah kebaikan dan keburukan telah menjadi bagian dari bahasan dalam administrasi; walaupun sebagai subdisiplin baru berkembang kemudian. Misalnya, konsep birokrasi dari Weber, dengan konsep hirarkinya dan birokrasi sebagai profesi, mencoba untuk menunjukkan birokrasi yang baik dan benar. Begitu juga upaya Wilson untuk memisahkan politik dari administrasi. Bahkan konsep manajemen ilmiah dari Taylor dapat juga dipandang sebagai upaya ke arah itu. Cooper (1990) bahkan menyatakan bahwa nilai-nilai adalah jiwanya administrasi negara. Frederickson (1994) mengatakan nilai-nilai menempati setiap sudut administrasi. Jauh sebelum itu Waldo (1948) menyatakan siapa yang mempelajari administrasi berarti mempelajari nilai, dan siapa yang mempraktekkan administrasi berarti mempraktekkan alokasi nilai-nilai. Peran etika dalam administrasi baru mengambil wujud yang lebih terang relative belakangan ini saja, yakni kurang lebih dalam dua dasawarsa terakhir ini.

    Masalah etika ini terutama lebih ditampilkan oleh kenyataan bahwa meskipun kekuasaan ada di tangan mereka yang memegang kekuasaan politik (political masters), ternyata administrasi juga memiliki kewenangan yang secara umum disebut discretionary power. Persoalannya sekarang adalah apa jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara “benar” dan tidak secara “salah” atau secara baik dan tidak secara buruk. Banyak pembahasan dalam kepustakaan dan kajian subdisiplin etika administrasi yang merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan itu. Etika tentunya bukan hanya masalahnya administrasi negara. Ia masalah manusia dan kemanusiaan, dan karena itu sejak lama sudah menjadi bidang studi dari ilmu filsafat dan juga dipelajari dalam semua bidang ilmu sosial. Di bidang administrasi, etika juga tidak terbatas hanya pada administrasi negara, tetapi juga dalam administrasi niaga, yang antara lain disebut sebagai business ethics. Namun, mungkin ini mencerminkan ego disiplin saya sendiri, di bidang administrasi negara, sehingga masalah ini menjadi keprihatinan (concern) yang sangat besar, karena perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu, birokrasi juga bekerja atas dasar ke percayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berarti juga untuk rakyat.

    Wajarlah apabila rakyat mengharapkan adanya jaminan bahwa para birokrat (yang dibiayainya dan seharusnya mengabdi kepada kepentingannya) bertindak menurut suatu standar etika yang selaras dengan kedudukannya. Selain itu, telah tumbuh pula keprihatinan bukan saja terhadap individu-individu para birokrat, tetapi terhadap organisasi sebagai sebuah sistem yang memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan nilai-nilai. Apalagi biokrasi modern yang cenderung bertambah besar dan bertambah luas kewenangannya. Appleby (1952), termasuk orang yang paling berpengaruh dalam studi mengenai masalah ini. Ia mencoba mengaitkan nilai-nilai demokrasi dengan birokrasi dan melihat besarnya kemungkinan untuk memadukannya secara serasi. Namun, Appleby mengakui bahwa dalam prakteknya yang terjadi adalah kebalikannya. Ia membahas patologi birokrasi yang memperlihatkan bahwa birokrasi itu melenceng dari keadaan yang seharusnya. Golembiewski (1962, 1965) yang juga merujuk pada pandangan Appleby, selanjutnya mengatakan bahwa selama ini organisasi selalu dilihat sebagai masalah teknis dan bukan masalah moral, sehingga timbul berbagai persoalan dalam bekerjanya birokrasi pemerintah. Hummel (1977, 1982, 1987) mengeritik birokrasi rasional a la Weber dengan antara lain me nyatakan bahwa birokrasi, yang disebut sebagai bentuk organisasi yang ideal, telah merusak dirinya dan masyarakatnya dengan ketiadaan norma-norma, nilai-nilai, dan etika yang berpusat pada manusia.

No comments:

Post a Comment